Ombudsman RI mengungkap adanya empat potensi maladministrasi dalam pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Temuan tersebut mencakup berbagai penyimpangan, mulai dari dugaan konflik kepentingan politik, keterlambatan pembayaran honor ahli gizi, hingga ketidaksesuaian bahan pangan yang digunakan.
“Empat bentuk maladministrasi ini bukan hanya menunjukkan lemahnya tata kelola, tetapi juga menjadi pengingat penting bahwa prinsip pelayanan public, kepastian, akuntabilitas, dan keterbukaan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, harus ditegakkan secara konsisten,” ujar Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers di Kantor Ombudsman RI, Selasa (30/9/2025).
Potensi maladministrasi pertama ditemukan dalam proses verifikasi mitra yang tidak memiliki kepastian waktu, serta keterlambatan pencairan honorarium bagi tenaga lapangan. Misalnya di Bogor, staf inti SPPG seperti ahli gizi dan akuntan dijanjikan menerima Rp5 juta per bulan, namun pembayaran baru cair setelah tiga bulan, yang berdampak pada motivasi kerja.
Di Garut dan Bandung Barat, relawan yang jumlahnya sekitar 50 orang per SPPG juga menyampaikan keluhan atas beban kerja berat mulai dari dapur hingga distribusi, namun belum sebanding dengan kompensasi yang diterima.
Kondisi serupa ditemukan di Belitung, Bangka Belitung, di mana guru harus mengatur distribusi makanan tanpa dukungan insentif maupun fasilitas yang layak.
Potensi maladministrasi kedua terkait dengan adanya afiliasi sejumlah yayasan dengan jejaring politik. Hal ini menimbulkan risiko konflik kepentingan dalam proses penetapan mitra. Namun, Yeka enggan merinci jumlah maupun asal SPPG serta yayasan yang terafiliasi tersebut.
Ketiga, ditemukan lemahnya kompetensi dalam penerapan standar operasional prosedur (SOP). Beberapa dapur tidak menyimpan catatan suhu atau retained sample (sampel makanan yang disimpan), sehingga menyulitkan investigasi jika terjadi kasus keracunan.
Keempat, terdapat penyimpangan prosedur pengadaan bahan pangan. Misalnya di Bogor, beras medium dengan kadar patah lebih dari 15 persen diterima meskipun kontrak menyebut beras premium. Selain itu, ditemukan distribusi sayuran busuk serta lauk yang tidak lengkap di beberapa daerah.
Yeka menegaskan bahwa pemerintah harus segera melakukan perbaikan dan menekankan pentingnya kualitas dibanding kuantitas dalam pelaksanaan MBG.
Keberhasilan program MBG pada akhirnya akan dinilai dari tiga hal, yakni tata kelola yang baik, penggunaan anggaran yang akuntabel, serta penerapan sertifikasi keamanan pangan menuju nol insiden di setiap SPPG. (HEV/YUN)




