Dibandingkan dengan Anies Baswedan, calon presiden dari PDIP, Ganjar Pranowo, memang memiliki tingkat popularitas yang lebih tinggi, karena dianggap sebagai sosok yang lebih diterima oleh media. Namun, apakah popularitas itu cukup untuk membuktikan bahwa Ganjar memiliki kemampuan untuk memimpin Indonesia?

Realitanya, banyak keraguan yang muncul terkait hal tersebut. Salah satu bentuk keraguan adalah stigma sebagai petugas partai yang melekat pada dirinya. Selain itu, kinerja Ganjar selama dua periode kepemimpinannya di Jawa Tengah juga dinilai tidak begitu mencolok dan bahkan dapat disebut sebagai kegagalan.

Ganjar sering menjadi sorotan karena selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, namanya sering dikaitkan dengan beberapa isu kontroversial. Salah satunya adalah saat ia menghadapi penolakan dari warga terkait izin investasi pembangunan pabrik semen di Kendeng, Rembang.

Penolakan warga ini didasari oleh kekhawatiran bahwa pembangunan pabrik semen dan aktivitasnya dapat merusak ekosistem serta berdampak buruk pada kehidupan masyarakat sekitar. Dalam menghadapi masalah ini, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, mengkritik penanganan yang dilakukan oleh Ganjar. Terlebih lagi, Ganjar dianggap tidak mengindahkan putusan pengadilan yang meminta pembatalan izin tersebut.

Baca juga:  Jadi Hal yang Krusial, KPU Perlu Transparan Terkait Keamanan Sistem Data Pemilu

Sebagai catatan, Ganjar sendiri terlibat dalam gugatan warga di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Warga Kendeng menggugat Surat Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan dan Pembangunan Pabrik Semen milik PT. Semen Gresik (Persero) Tbk (sekarang dikenal sebagai PT Semen Indonesia) di Kabupaten Rembang.

Dedi mengungkapkan, “Gubernur yang tampak mengabaikan kepentingan warganya, menjadikan situasi bencana alam semakin meluas, dan dampak terhadap masyarakat masih berlanjut hingga hari ini, sulit untuk diabaikan hanya dengan opini.” Ini diungkapkan ketika ia dihubungi oleh Inilah.com di Jakarta, dan dikutip pada Minggu (20/8/2023).

Namun, persoalan Kendeng bukan satu-satunya masalah yang mencuat. Ganjar juga mendapat sorotan terkait izin pembangunan tambang batu andesit di Desa Wadas, Purworejo. Seperti halnya di Kendeng, warga Desa Wadas menolak penggunaan lahan mereka untuk keperluan penambangan batu andesit yang merupakan proyek pemerintah.

Respons dari aparat, termasuk aparat keamanan, dalam hal ini menjadi perhatian khusus. Akibat dari kasus ini, sekitar 64 warga Desa Wadas ditangkap oleh polisi pada Februari 2022, meskipun mereka kemudian dibebaskan dalam waktu singkat.

Tindakan aparat yang dinilai semena-mena membuat banyak warga Desa Wadas merasa takut, terutama di kalangan ibu-ibu dan pemuda desa yang bahkan sempat dikejar oleh polisi hingga masuk ke dalam hutan.

Selain isu lingkungan, Provinsi Jawa Tengah juga dihadapkan pada masalah ketimpangan antara kelompok berpenghasilan tinggi dan rendah yang semakin melebar. Dedi menyatakan, “Bukti dari Jawa Tengah menunjukkan bahwa situasinya lebih baik sebelum era Ganjar.”

Badan Pusat Statistik (BPS) dalam rilisnya di Jakarta, yang dikutip pada Selasa (18/7/2023), mencatat bahwa tingkat kemiskinan di Jawa Tengah memang mengalami penurunan, tetapi tetap diiringi dengan perlebaran kesenjangan antara kelompok berpendapatan tinggi dan rendah.

Data BPS dalam tujuh tahun terakhir menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Jawa Tengah semakin memburuk. Pada Maret 2017, rasio Gini tercatat sebesar 0,365 dan bahkan meningkat menjadi 0,374 pada Maret 2022.

Baca juga:  Apta Veda Valencia Nahkodai PR IPM SMP Muhammadiyah 1 Blitar 2023-2024

Dalam hal ketimpangan pengeluaran masyarakat, provinsi yang dipimpin oleh Ganjar Pranowo mengalami peningkatan dari 0,366 pada September 2022 menjadi 0,369 pada Maret 2023, meningkat sebesar 0,003 poin.

Ketimpangan tersebut umumnya terjadi di wilayah perkotaan Jawa Tengah, mencapai 0,399 pada Maret 2023, meningkat dari angka sebelumnya, yaitu 0,392 pada September 2022. Sedangkan di wilayah pedesaan, indeksnya mengalami penurunan dari 0,326 pada September 2022 menjadi 0,318 pada Maret 2023.

Dengan rangkaian permasalahan yang ada, Dedi menganggap bahwa Ganjar memiliki tugas berat jika ingin mencalonkan diri dalam Pilpres 2024 tanpa terbebani. Ganjar perlu menghadirkan gagasan inovatif yang lebih dari sekadar mengandalkan konsep keberlanjutan yang selama ini dipegangnya.

Dedi menyatakan, “Saat ini, arah pemikiran Ganjar belum terlihat jelas. Ia cenderung hanya mengikuti pola pikir Jokowi. Meskipun memberikan kemudahan akses, tetapi dampak kebijakannya belum dirasakan oleh publik.”

Editor: Rozak Al-Maftuhin

Iklan