Praktik alih fungsi kawasan hutan atau deforestasi ternyata bukan hanya menjadi persoalan besar di Pulau Sumatra. Di pesisir selatan Pulau Jawa, khususnya Kabupaten Blitar, kerusakan hutan menunjukkan peningkatan yang sangat mengkhawatirkan. Kawasan yang seharusnya menjadi penopang kelestarian lingkungan kini berubah menjadi bentangan lahan tebu yang dikelola para pemilik modal.

Hutan-hutan di wilayah Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) yang sebelumnya ditumbuhi berbagai jenis pohon kini banyak ditebang dan digantikan dengan hamparan tanaman tebu.

Skala perubahan ini bukan kecil; luasannya disebut mencapai puluhan ribu hektare. Secara administratif, kawasan tersebut memang termasuk dalam wilayah kelola Perum Perhutani KPH Blitar serta berada di bawah yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun kenyataan di lapangan justru memperlihatkan kondisi yang berbanding terbalik dengan kerangka aturan tersebut.

Alih-alih tegakan pohon yang menjadi sumber resapan air, pemandangan yang terlihat sejauh mata memandang justru didominasi oleh ladang tebu milik para juragan. Situasi ini mencerminkan adanya persoalan dalam tata kelola hutan yang selama ini seakan tertutup.

Baca juga:  Kisah Pilu Pekerja Migran Asal Blitar, Disiksa Sesama WNI di Malaysia

Fakta tersebut semakin terang setelah Dinas Kehutanan Wilayah Kerja Kabupaten Blitar membuka data lapangan terbaru. Dari total 41.571 hektare lahan yang termasuk dalam indikasi KHDPK, hanya sebagian kecil saja yang benar-benar resmi dikelola masyarakat melalui program Perhutanan Sosial.

Seorang Penyuluh Kehutanan Provinsi Jawa Timur, Fery Eko Wahyudi, menjelaskan bahwa realisasi pengelolaan legal masih sangat minim. “Dari keseluruhan 41.571 hektare yang terdata sebagai kawasan indikatif KHDPK, baru sekitar 4.825 hektare saja yang telah berubah menjadi Perhutanan Sosial dan memiliki surat keputusan resmi dari KLHK. Itu pun dikelola oleh kelompok tani hutan yang sudah tercatat. Sisanya belum masuk data resmi dan belum kami verifikasi,” tuturnya pada Rabu (10/12/2025).

Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada puluhan ribu hektare kawasan hutan yang tidak berada dalam pengelolaan legal. Ironisnya, lahan-lahan tersebut justru dikuasai oleh kelompok yang diduga tidak bertanggung jawab.

Kelompok inilah yang disebut sebagai pemain utama dalam mendorong perubahan kawasan hutan menjadi kebun tebu secara besar-besaran. Fery menambahkan bahwa mereka bergerak dengan cara-cara tersembunyi. “Mereka umumnya mengaku sebagai penggarap lama atau bagian dari kelompok tani, tetapi faktanya nama mereka tidak pernah tercantum dalam data Perhutanan Sosial. Metode mereka sistematis dan tidak terbuka sehingga penindakannya menjadi sangat sulit,” jelasnya.

Baca juga:  Warga Blitar Diduga Menusuk Sesama Pekerja Migran di Korsel

Di tengah persoalan ini, masyarakat Blitar masih mengingat sosok Muklisin, mantan Administratur (ADM) Perhutani KPH Blitar yang dikenal berani menentang dominasi para pemilik modal dalam perambahan hutan.

Meski masa jabatannya tergolong singkat, ia dianggap sebagai pejabat Perhutani yang mampu menahan laju perusakan hutan secara signifikan. Beberapa sumber internal menyebut bahwa tindakan tegasnya berhasil menyelamatkan potensi pendapatan negara yang nilainya mencapai ratusan miliar rupiah.

“Pak Muklisin itu satu-satunya pejabat Perhutani yang benar-benar kelihatan bekerja untuk melindungi hutan dan mengamankan uang negara. Sayang, ketegasan seperti itu ternyata tidak bertahan lama,” ungkap seorang warga Blitar bernama Woto,

Namun setelah Muklisin dipindahkan, situasi kembali berubah. Kawasan hutan yang sebelumnya relatif aman kembali dirambah dan para mafia lahan seakan memperoleh angin segar untuk melanjutkan aktivitasnya tanpa hambatan berarti.

Baca juga:  Efektivitas Bansos Dipertanyakan: PT Pos Indonesia Ungkap Utang dan Kendala

Kerusakan hutan ini tidak hanya menghasilkan kerugian ekonomi, tetapi juga ancaman ekologis yang nyata. Warga di lereng selatan Blitar mulai merasakan konsekuensinya.

Setiap musim penghujan, mereka kini hidup dalam kekhawatiran terjadinya banjir bandang dan tanah longsor akibat minimnya penahan air di kawasan tersebut. Sementara itu, janji pemerintah pusat melalui KLHK untuk memperbaiki kondisi lingkungan dinilai belum menampakkan hasil.

Sebagian warga menilai bahwa komitmen tersebut hanya sebatas pernyataan tanpa implementasi yang tegas. “Janji pemerintah pusat untuk memulihkan fungsi ekologis KHDPK itu hanya sekadar ucapan. Tidak menyentuh inti persoalan sama sekali,” imbuhnya.

Kini, tekanan publik mengarah pada KLHK dan aparat penegak hukum untuk segera mengambil langkah tegas. Jika tidak ada intervensi nyata, kawasan Blitar bagian selatan tinggal menunggu waktu untuk mengalami bencana ekologis yang lebih besar dan mungkin tak lagi bisa dipulihkan. (IND/SAN)

Tinggalkan Komentar

Iklan