Dalam delapan bulan terakhir, sudah terjadi dua kasus kekerasan yang berujung pada kematian di beberapa pondok pesantren di Kabupaten Blitar. Fenomena ini sangat mengkhawatirkan, mengingat pondok pesantren seharusnya menjadi tempat belajar yang aman, tetapi justru ternoda oleh kasus kekerasan tersebut.
Yang lebih mengejutkan, salah satu dari dua kasus tersebut melibatkan pengasuh pondok sendiri. Insiden ini terjadi di Pondok Pesantren Al-Mahmud, Ponggok, Kabupaten Blitar, ketika MUA, pengasuh pesantren, diduga melakukan kekerasan terhadap santrinya.
MUA melempar balok kayu yang dipasangi paku kepada santri berusia 14 tahun, yang kemudian menyebabkan gangguan saraf hingga mengakibatkan kematian. Meski MUA mengklaim tindakannya tidak disengaja, perbuatan tersebut tidak dapat dibenarkan.
Beberapa bulan sebelumnya, seorang santri di Pondok Pesantren Tahsinul Ahklaq di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, juga meninggal akibat kekerasan yang dilakukan oleh 17 rekannya. Peristiwa ini terjadi di dalam lingkungan pesantren tersebut.
Rentetan kasus kekerasan di lingkungan pesantren ini seharusnya menjadi peringatan bagi Kementerian Agama Kabupaten Blitar untuk melakukan evaluasi serius. Namun, entah mengapa, kasus-kasus kekerasan di lembaga pendidikan yang berada di bawah pengawasan Kementerian Agama terus berulang.
Plt Kepala Seksi Pendidikan Madrasah Kemenag Kabupaten Blitar, Syaikhul Munib, menyatakan bahwa kasus-kasus serupa telah terjadi sebelumnya di wilayah Sutojayan dan Kunir, Kecamatan Wonodadi, meski pelakunya antar siswa. Dia menekankan perlunya pengawasan yang lebih baik terhadap santri, terutama di bawah lembaga pendidikan yang mereka kelola.
Kementerian Agama Kabupaten Blitar menyebut telah berupaya mencegah kekerasan di lingkungan pesantren dengan menerapkan berbagai regulasi. Namun, kasus-kasus kekerasan tetap terjadi, bahkan sejak tahun 2023.
Salah satu alasan berulangnya kasus ini, menurut Kemenag, adalah tidak semua pengasuh pesantren mengikuti sosialisasi pencegahan kekerasan. Hal ini diperburuk oleh manajemen pengelolaan yang dinilai kurang profesional, terutama jika santri berjumlah ratusan hingga ribuan.
Faktor-faktor lain yang disebut memicu kekerasan di pesantren antara lain adalah budaya senioritas yang masih kuat, serta jumlah santri yang melebihi kapasitas pesantren, sehingga fasilitas yang tersedia menjadi tidak memadai.
Kementerian Agama Kabupaten Blitar diharapkan segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan di lingkungan pesantren, meski sejauh ini mereka masih mengandalkan sosialisasi sebagai upaya preventif. (Hev/Yun)